Asal-usule Desa Gabus Kab. Pati

Dahulu kala, jauh sebelum desa Gabus berdiri, ada seorang tokoh yang bernama Kyai Tunggul Pawenang. Dia memiliki seorang putri yang sangat cantik jelita bernama Nawangsih. Kecantikannya termasyur hingga ke seluruh pelosok negeri sehingga banyak pria yang ingin mempersuntingnya.
Suatu malam, ketika Kyai Agung Pawenang sedang duduk santai di kursi beranda. Datanglah Nawangsih membawakan secangkir kopi untuk ayahnya.
“Nduk, ada yang ingin bapak utarakan padamu,” kata Kyai Pawenang ketika menerima kopi dari putrinya.
“Apa, Pak?”
“Ini mengenai pinangan. Beberapa hari lalu penguasa Rujak Beling –sekarang nama Rujak Beling menjadi dusun Katan Lor– datang pada bapak dan menanyakan perihal dirimu. Dia bermaksud untuk meminangmu demi putranya, Joko Wahyu. Apakah kamu bersedia?”
Nawangsih tidak langsung menjawab pertanyaan ayahnya. Ia malahan menunduk, berpikir.
“Bapak tidak akan memaksamu. Itu tergantung keputusanmu karena kamu yang mau menikah.”
“Iya, Bapak. Nanti akan Nawang pertimbangkan lagi.”
Setelah menimang-nimang cukup matang, Nawangsih pun menerima pinangan itu. Walau pun dalam hatinya tak ada sedikit pun rasa cinta untuk Joko Wahyu. Tetapi, ia menyanggupi karena begitu besar bakti dan cintanya kepada ayahnya. Di hari yang telah ditentukan, proses melamar pun dilakukan dengan berabagai macam aneka makanan tradisional dan hewan sebagai mas kawinnya.
Selang beberapa hari setelah proses lamaran selesai, kehidupan Nawangsih dan Kyai Pawenang berjalan seperti hari-hari biasanya. Suatu ketika datanglah seorang prajurit muda tampan bernama Damar Jati (Raden Syahid tetapi bukan Sunan Kalijaga). Ia datang dengan keadaan yang terluka parah, yang diduga dari “Mbah Selo” atau dari arah selatan. Menurut dugaan masyarakat setempat, ia melarikan diri dari suatu peperangan yang sedang berlangsung di selatan. Dalam keadaan terluka parah ia membersihkan diri di sungai. Saat ia membersihkan sungai tersebut, luka-luka di tubuhnya mengeluarkan darah yang  amat banyak, sehingga terbawa arus dan mengalir ke sungai. Hal itu menyebabkan terjadinya perubahan air sungai menjadi kemerah-merahan.
Sejak saat itu dimana tempat terjadinya percampuran darah dan air, masyarakat menyebutnya dengan nama sungai “Sogo” yang berarti merah. Menurut keterangan dari Mbah Seno, beberapa masyarakat sekitar kadang masih menjumpai warna kemerahan di sungai tersebut.
Setelah membersihkan luka-lukanya, Damar Jati dengan tertatih-tatih mencoba mencari tempat persembunyian yang aman dari kejaran musuh. Ia berjalan dari siang hingga malam, dengan luka yang masih sakit dan tubuh yang sudah lemas. Sampailah ia di sebuah rumah sederhana dari bambu. Ia bermaksud untuk meminta tolong, tetapi ia pingsan dahulu sebelum sempat berteriak.
Keesokan harinya, Kyai Tunggul Pawenang melihat seorang pemuda tergeletak di depan rumahnya. Tubuhnya penuh dengan goresan dan lebam-lebam yang membiru. Ia memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan pemuda tadi. Ternyata masih hidup.
“Nawang...Nawang...” dia memanggil-manggil putrinya. “Cepat sini nduk, bantu bapak.”
Nawang segera keluar dari rumah dan berlari menghampiri ayahnya. “Ada apa, Pak?”
“Tolong bantu bapak mengangkatnya masuk ke dalam. Sepertinya ia sangat butuh pertolongan.”
Keduanya lalu mengangkat pemuda tadi yang tak lain adalah Damar Jati. Ia pun dibaringkan di sebuah dipan dengan anyaman pandan sebagai alasnya.
“Tolong kamu bawakan air hangat dan juga kain untuk membersihkan lukanya. Raciklah obat saat bapak membersihkan lukanya. Setelah itu kamu oleskan di luka-lukanya ini,” perintah ayahnya.
“Baik, Pak.”
“Jangan lupa, obatnya bapak taruh di atas rak bambu di dapur.”
“Iya, Pak. Nawang permisi.”
Dengan cekatan Nawang melaksanakan apa yang telah diperintahkan ayahnya. Setelah memberikan air hangat, ia segera meracik obat-obatan untuk mengobati luka si pemuda tadi.
“Duh, Gusti. Kenapa hatiku ini, kenapa rasanya seperti ini. Melihat pemuda tadi rasanya seluruh badanku bergetar dan jantung ini kenapa seperti ini.” Nawangsih bergumam pelan saat meracik obat. Ia segera menyadari kalau ia sedang meracik obat, cepat-cepat ia tepiskan bayang-bayang pemuda yang selalu menari-nari di pelupuk matanya.
Selama beberapa hari, Nawanglah yang merawat pemuda tadi. Kesehatan si pemuda semakin hari semakin pulih. Hingga hari ke sepuluh, pemuda tadi telah benar-benar sehat walau tubuhnya masih penuh dengan luka-luka yang sudah mengering.
Damar Jati sedaang duduk di dipan saat Nawangsih masuk mengantarkan sarapan.
“Sarapannya, ki sanak. Silakan dimakan. Nanti kalau butuh bantuan, saya ada di belakang.”
“Terima kasih.”
Setelah sarapan, Damar Jati keluar kamar untuk menghirup udara segar. Di samping rumah, ia melihat Kyai Tunggul Pawenang sedang beolah rasa dan raga. Damar Jati memperhatikan dengan seksama dan penuh takjub. Ia belum pernah belajar ilmu yang dimiliki Kyai Tunggul Pawenang. Dalam hati ia berniat untuk berguru dan mengabdi kepada Kyai Tunggul Pawenang.
“Oh, Damar. Di situ kau rupanya,” sapa Kyai Pawenang ketika dia selesai berolah rasa dan raga.
“Bagaimana keadaanmu? Sudah sehat?”
“Alhamdulillah, Kyai. Semua ini berkat pertolongan Kyai dan putri Kyai.”
“Kyai, saya ingin mengutarakan sesuatu,” lanjutnya lagi.
“Katakanlah. Mari-mari... duduk sini. Biar enak ngomongnya.” Kyai mengajak Damar untuk duduk di sebuah dipan di depan rumah.
“ Begini, sebelumnya saya mengucapkan terima kasih karena sudah menolong saya. Kedua, saya ingin membalas kebaikan Kyai dengan mengabdi sekaligus belajar ilmu dari Kyai. Untuk yang kedua ini, keputusan saya serahkan pada Kyai apakah saya diperbolehkan atau tidak.”
“Oh, bagus itu. Lagi pula jika kamu aman di sini, kamu boleh tinggal di sini dan mengabdi. Saya malah senag bisa mengajarkan apa yang saya bisa dengan ilmu yang tak seberapa.”
“Terima kasih banyak, Kyai.” Damar lalu mencium tangan Kyai Paenang sebagai wujud terima kasih serta kesopanan yang muda terhadap yang tua. Hari itu juga, Damar Jati mengabdi kepada Kyai Tunggul Pawenang.
Sang waktu pun berjalan sesuai irama takdir. Cinta pun bersemi diantara putrinya dan Damar Jati. Keduanya pun menjalin asmara merajut cinta dan cita. Melihat ketulusan hati dari Damar Jati terhadap Nawangsih dan karena rasa sayangnya yang tinggi terhaadap putrinya, Kyai Tunggul Pawenagn merestui hubungan mereka. Pinangan dari Dusun Rujak Beling pun dibatalkan secara sepihak oleh Kyai Tunggul Pawenang.
“Bapak, bagaimana jika nanti penguasa Rujak Beling marah dan ingin membuat perhitungan?” tanya Nawangsih cemas.
“Tenang saja putriku, bapak akan mencari bantuan kepada teman-teman bapak. Bapak yakin, mereka pasti mau membantu,” hibur Kyai Pawenang.
Mendengar kabar ditolaknya pinangan secara sepihak, membuat penguasa Rujak Beling marah dan sakit hati terhadap sikap dari Kyai Tunggul Pawenang.
“Kurang ajar! Ini tidak bisa dibiarkan. Kyai Tunggul Pawenag telah berkianat!” katanya dengan penuh amarah yang berkobar di dada.
“Kau,” panggilnya pada si mata-mata suruhannya, “Katakan pada Kyai Tunggul Pawenang bahwa aku tidak terima dan ingin melakukan perhitungan.”
“Baik, perintah akan segera dilaksanakan.” Si mata-mata pun pergi melaksanakan perintah.
“Patih, tolong kirimkan surat permintaan bantuan kepada pembesar Dhalingan, Penguasa Sinom, dan pembesar Katan untuk membantu peperangan kita.”
“Baik, Tuan.”
Kyai Tunggul Pawenang yang mengetahui siasat penguasa Rujak Beling tidak tinggal diam. Dia segera meminta bantuan kepada kemenakannya sendiri, Jogo Boyo. Jogo Boyo bersama orang-orang sakti diantaranya Mbah Dalim dan Mbah Gonggomino, datang membantu Kyai Tunggul Pawenang. Mbah Siwatu –seorang pendatang– juga hadir dan membantu Kyai Tunggul Pawenang. Terjadilah perang dahsyat antara keduanya, sama sakti sama kuat hingga sulit ditemukan siapa pemenangnya.
“Ini tidak bisa dibiarkan terus-nmenerus. Ini hanya akan meresahkan warga. Kita sudahi saja peperangan ini,” usul Kyai Pawenang di jeda perang.
“Tidak bisa! Perang ini harus diselesaikan! Kecuali jika kau mau mengalah dan menyerahkan putrimu.”
“Tidak akan kubiarkan itu terjadi!” geram Damar Jati.
Pecahlah peperangan untuk yang kedua kali. Kedua belah pihak tak ada yang merasa lelah apalagi sukarela mengalah. Kyai Tinggul Pawenang prihatin sekali hingga ia akhirnya memutuskan untuk membuat suatu sayembta.
Sayembara itu menggunakan dua buah batu yang nantinya akan dilempar ke dalam kedung/ sungai yang sangat dalam. Menurut keterangan Mbah Seno, tempat yang dulu digunakan untuk sayembara itu sekarang bernama dusun Paras –berasal dari nama sepasang batu paras-parasi. Aturan mainnya, kedua batu itu dilempar ke sungai. Bila batu dari sang pelempar terapung, maka ia menang dan sebaliknya.
Ketika Kyai Tunggul Pawenang akan melemparkan batu tersebut, para pendukung Kyai Tunggul Pawenang bersorak mengatakan “timbul-timbul...ngampul-ngampul...” secara terus menerus. Berkat kesaktian, izin Tuhan, dan doa dari para pendukung Kyai Tunggul Pawenang, batu yang dilemparnya pun mengapung. Alhasil, Kyai Tunggul Pawenanglah yang menjadi pemenangnya.
Penguasa Rujak Beling marah, namun hanya bisa pasrah. Ia mau tak mau harus mengakui kekalahannya dan pulang dengan tangan hampa.
Kyai Tunggul Pawenang pun melangsungkan pernikahan Damar Jati dengan putrinya, Nawangsih yang terkasih. Upacara yang sederhana itu memiliki sejarah yang luar biasa, terlebih bagi kedua mempelai yang berbahagia.

Ujian Praktik 2016 (9E-20)
Nama : M.joko susanto
No     : 20
Kelas : IX.E

Comments

Subscribe Us